THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

aLL VideO n' MUsic Post hardcore, Hardcore, ....


MusicPlaylistRingtones
Create a playlist at MixPod.com

aku BUKAN pUNK ` catatan seorang kawan `


AKU BUKAN PUNK
Padahal, aku punya lebih banyak bacaan punk (setelah aku kenal dengan punk tentunya---thank's Ka) dibanding bacaan lainnya

Malah sekarang aku kebanyakan nongkong sama anak-anak punk, atau sobatan sama punk, dibanding anak metal yang jadi imejku karena news letter yang kutulis itu melulu metal isinya.

Aku bukan tidak suka punk mentah-mentah, juga suka punk mentah-mentah.

Terus terang, dulu aku memang tidak suka yang segala yang berbau punk, meskipun aku sudah mengenal musik underground sudah lama. Alasanku, karena gaya dan dandanan anak punk yang aku nilai rese banget, musiknya tidak karu-karuan. Tidak seperti anak metal yang mungkin dandanannya serem, tapi adem-ayem aja. Mabok juga nggak pernah ribut. Ini…ini dari yang aku kenal.

Jadi anak punk nya norak dan rese, anak death metalnya keren. Meskipun musiknya juga hingar bingar. Tapi lebih cocok di telingaku ketimbang musik punk. Sampai sekarang pun aku jarang sekali dengar lagu punk. Paling dengar kalau teman-teman punk ku manggung. Sejauh ini band punk yang aku tahu hanya Rancid dan Bad Religion. Aku dengar Bad Religion waktu temanku bawa kaset itu ke rumahku. Rancid? Aku sama sekali tidak pernah dengar Rancid. Aku cuma punya baju merah hadiah dari temanku yang gambarnya Rancid.

Yang kutahu juga kalau punk itu identik dengan politik. Sesuatu yang tidak aku sukai. Ha…mesti banyak yang protes. Tapi aku berhak donk menyatakan kalau aku tidak suka politik. Kendati hidup itu sendiri politik. Politik ku cuma sampai segitu. Secara kasar aku tidak suka politik karena politik yang kutahu harus kotor dan licik. Aku tidak suka. Itu saja….

Trus ada teman yang ngenalin aku sama punk, dan bilang kalau punk bukan hanya sekedar punk yang aku sering lihat. Dia bilang memang punk pertama dari fashion nya dulu, trus ke musik, trus ke ideologinya. Bener juga sih, aku tidak yakin semua anak punk yang taunya mohawk mengerti ideologi punk sebenarnya. Tapi arahnya pasti kesitu. ( cukup sederhana kan?)

Lalu aku mulai berpikir untuk mengenal punk lebih dalam. Untung saja, ada yang mau berteman dengan aku. Mulanya sih, aku mau cari bahan buat newsletter ku. Sekalian curi ilmu.

Ternyata…punk yang kuingin dekati memang seperti punk yang kuinginkan. Karena meskipun aku dulu anti punk, tapi tetap aja berharap punk tidak seperti yang kuduga. Alasannya punk, metal dan kawan-kawannya masihlah tetap satu komuniti underground yang sampai sekarang masih ku puja.

Tau tidak? Sejak McD ada, aku memang tidak suka. Karena aku pikir harganya terlalu mahal untuk ayam sekeras itu. Lagian makan di tempat junkfood kaya' gitu hanya untuk borju-borju sok. Lalu setelah kenalan dengan punk, setidaknya aku punya alasan kenapa aku tidak suka McD dan tambah tidak suka McD. Meskipun aku tidak menganggapnya propaganda. Toh hampir setiap temanku dari kalangan mainstream yang tau alasanku juga ikut-ikutan tidak makan di McD, tidak minum Coca-Cola dan anti Amerika. Hi..hi…hi

Yang membuatku takjub, apa yang seorang punk perjuangkan, kurang lebih sama dengan apa yang kuperjuangkan. Aku tidak suka apa aja yang tidak adil dan tidak manusiawi. Sejak kecil. Sampai Bapak dan guru sekolah dulu menyebutku pemberontak. Trus aku bisa dibilang punk donk. Ah..tunggu dulu. Justru karena aku terkagum-kagum dengan pandangan hidup punk dan segala perjuangannya itu. Aku malah makin takut jadi punk.

Untuk menjadi punk aku rasa butuh tanggung jawab yang besar. Bukan hanya meneriakkan ketidak puasan kita kemana-mana, ikut demo, sebar flyer. Ikut-ikutan nyetreet. Tapi lebih jauhnya lagi harus mempertanggung jawabkan punk itu sendiri terhadap diri kita sendiri. Sepunk apa kita untuk berteriak-teriak kalau kita punk. Sepeka apa kita pada diri sendiri dan lingkungan terdekat untuk mengklaim diri kalau kita begitu peduli. Untuk apa berteriak-teriak menganjurkan kiri kanan untuk mencegah polusi udara, sementara kita sendiri masih merokok. Membuat polusi dalam badan kita sendiri. Bagaimana mungkin memikirkan kelestarian lingkungan hidup dunia. Masih nonton televisi, memakai kendaraan, mana bisa begitu berteriak-teriak menentang kapitalisme. Bergantung pada orang tua yang pegawai negeri, pantas tidak berkoar-koar menjatuhkan pemerintahan, etc..etc... (sok tau ya..). Memang pemikiranku senaif itu.

Bukannya juga aku berharap seorang punk begitu sempurna. Aku tau seorang punk memiliki pandangan tentang punk itu sendiri. Mempunyai cara untuk membuat punk tetap ada. Seperti halnya aku. Aku memiliki pandangan sederhana, dan mengagumi.

Tentu saja aku belum bisa menerapkan punk dalam hidup dan pandangan hidupku. Sungguhpun sebagian besar kehidupan punk cocok dengan kehidupanku, utamanya dengan etos kerja D.I.Y. yang kental banget. Sementara aku masih seperti kebanyakan cewek lainnya. Berdandan manis, ikut acara keluarga. Kerja di industri kapitalis. Membuat komplotan cewek yang ingin menguasai dunia. Semua itu masih aku butuhkan dan belum bisa aku tinggalkan. Mana berani pake jins ketat, jaket kulit dan rambut di mohawk. Itu kan bisa merusak rambut. Ha..ha..ha.. (meskipun sampe sekarang aku masih berambisi untuk bertato). Aku lebih nyaman memakai jins atau celana kargo, kaos dan cardigan item kesayanganku. Aku harus merasa nyaman dengan apa yang kupakai dan apa yang kuinginkan. Bukan apa yang orang lain liat dan orang lain pikirkan. Aku masih lebih suka kalau hidupku tipikal bahagia dan berkecukupan. Just like that simple!

Kalau aku kagum sama punk. Aku hanya bisa setuju kalau punk itu harus menentang otoriter yang ada. Memperjuangkan nasib rakyat kecil, buruh, perempuan dan petani. Menentang dwi fungsi TNI. Peduli sama lingkungan. Mendukung pelestarian hewan. Aku setuju…setuju banget, lebihnya lagi mendukung dengan segala kemampuan yang aku punya. Walau kemampuan itu tidak maksimal aku gunakan.

Yang aku lakukan hanya sekecil-kecil yang dapat aku lakukan. Ya itu tadi. Hanya sebatas berjuang untuk diriku sendiri. Belum untuk orang banyak. Yang kuyakinkan sampai sekarang adalah. Bila suatu saat semua musuh tak dapat aku lawan dan makin menglobal, barangkali aku yang akan menglobal dan memanfaatkan musuh untuk kemenanganku. Aku tidak pernah menganggap diriku dieksploitasi oleh orang-orang yang kalian sebut kapitalis, moralis, dll…., tetapi aku yang akan menggunakan mereka untuk kepentinganku. Sekali lagi…kepentinganku…keinginanku!

Kalau aku tidak memakai produk yang menggunakan animal test, artinya bukan aku peduli sekali sama binatang yang dijadikan percobaan itu. Tapi aku lebih peduli pada diriku sendiri yang tidak mau jadi konsumen benda-benda menjijikkan itu.

Kalau aku tidak suka buang sampah sembarangan juga bukan berarti peduli banget dengan ozon yang bocor dan pencemaran lingkungan yang sangat parah akhir-akhir ini. Lebihnya, mataku memang tidak suka sesuatu yang 'berantakan'.

Kalau aku tidak suka TNI, bukan juga karena peduli pada nasib orang yang ditindas oleh TNI. Aku lebih suka beralasan kalau orang-orang TNI yang aku kenal itu semua sok jago dan suka memandang enteng perempuan.

Kalau aku suka nyetreet, ya karena aku kebetulan hobi nongkrong di jalan sejak kuliah dan memulai hidup mandiri 7 tahun lalu. Sekarang sih agak-agak repot karena ketimbang dingin-dinginan di luar, aku lebih suka diam membaca di kamar.

Kalau aku suka membaca bacaan punk, sama halnya aku suka membaca News Letter dan Zine metal, Femina, Hai, Tabloid Rock, Kariage, Kobo Chan, Kungfu Boy… Semua aku baca untuk memperluas pengetahuan dan wawasanku selain aku menganggap membaca itu hiburan utamaku.

Aku memang bukan punk, tapi aku peduli. Aku tidak perlu jadi punk agar dapat bertahan dengan pandangan-pandangan dan keyakinanku. Tak perlu jadi punk untuk belajar tentang punk. Tak usah jadi punk untuk ikut acara-acara yang dipenuhi sama anak punk. Aku percaya, tidak akan ada ruginya menjadi aku. Tak perlu juga memikirkan tujuan yang muluk-muluk untuk menjadi aku.

Itulah sebabnya aku kurang suka berdebat dan mengeluarkan pendapatku. Karena apa yang jalani lebih baik kalau tidak diikuti. Orang seperti aku kurang memiliki kepekaan selain keinginan untuk terus bertahan hidup di dunia keparat ini. Jadi apa-apa yang jadi keinginanku, aku tidak merasa orang lain harus setuju. Sebaliknya aku berusaha menghargai pendapat orang. Kalau aku tidak setuju, setidak-tidaknya aku tidak harus mengikuti kan?

Aku bukan punk. Meski aku merasa bukan anak metal. Aku tidak terlalu keberatan dipanggil metal. Aku memang suka segala sesuatu yang berbau musik metal karena hobby. Tapi sebaiknya jangan yaa… Panggil saja namaku. UNI…..

Setuju atau tidak, aku tidak suka memberi label pada diriku.

Kalau aku ikutan milis, ikutan diskusi, doyan menyimak setting demo, melahap bacaan-bacaan punk dan suka sama ideologi punk, berteman dengan kalian semua, tidak salah juga kan?

Aku menghargai semua itu. Kalau bisa, ingin rasanya terjun kedalamnya. Pengen ikut demo panas-panasan dan berorasi. Hafal semua band punk dan nyanyi sama-sama di bibir panggung. Sayangnya keterbatasanku tidak memungkinkan untuk itu. Lebih baik tidak daripada ikut-ikutan tapi tidak mampu.

Masih banyak yang ingin aku ketahui, selain punk atau underground. Masih banyak hal di dunia ini yang belum kujamah. Sangat kompleks memang! Juga tidak fokus. Tapi bisa jadi dengan begini malah tidak membebani.

Kalau nantinya ada yang bilang aku poser karena sikap apatis yang kontradiktif sama sikap simpatiku. Ya terserah saja… Aku bisa bilang, aku memang bukan punk. Tapi kalo ditanya tentang punk, aku juga tidak bego-bego amat, hihihi.

Aku bukan punk. Tapi tetap simpati sama punk. Tetap cayang sama semua teman punk ku. Luv yaa….


Blog 
EntryBenalu
Semua orang tak mau jadi benalu. Benalu adalah tumbuhan liar yang menumpang tanaman induk lalu menghisap sari-patinya, sehingga si benalu menjadi semakin sehat, sementara bagi tanaman induk, menjadi semakin sakit, yang akhirnya mati. Dalam lapangan kehidupan, ulah si benalu merepotkan banyak orang. Bagaimana tidak, mengaku sebagai bagian dari masyarakat atau negara tertentu, tetapi "kerjaannya" ngompor-ngompori, menghujat, menghina, mengkritik bahkan tidak mau tunduk terhadap "konsensus" atau "konstitusi" yang berlaku di dalam masyarakat atau negaranya. sang Benalu cukup senang hidup di lingkungan itu, menikmati iklim kebebasan yang kondusif dalam sistem lingkungannya, tetapi tidak mau berterima kasih apalagi berkontribusi nyata demi pembangunan masyarakatnya. Apa istilah yang cocok bagi para benalu ? "srigala berbulu domba" jawab teman saya, yahhh...meskipun mereka tak menyadarinya.
Berbeda dari zaman Orde Baru yang otoritarian dan menerapkan demokrasi semu, sang benalu ditekan "populasinya". Semua merasa (dipaksa) tunduk terhadap garis kebijakan pemerintah yang pro stabilitas politik demi pembagunan ekonomi. Partai-partai diringkas jadi 3, partai-partai harus mau menganut doktrin pancasila, Pers dikendalikan kekuasaan, Pers oposisi dibreidel, potensi separatis diredam dengan senjata, tokoh-tokoh kritis dibungkam, para aktivis progresif dijebloskan ke penjara, intel dimana-mana, organisasi yang dicurigai komunis diberangus, konflik ditekan dengan kekuatan militer. Pendek kata, sang benalu tidak bisa sebebas "merpati" dalam melancarkan aksinya, malah berusaha semanis mungkin di depan penguasa dan negara sebagai komplotan "asal bapak senang".
Sekarang ini, Demokrasi memberi angin segar, kebebasan yang dulu terampas kini bisa dinikmati sebagai berkah dari reformasi. Aspirasi warga negara yang dulu tersumbat kini hingar bingar dirayakan seluas-luasnya. maka seperti layaknya "cendawan di musim hujan", para benalu-pun tumbuh bertaburan, merayakan musim semi dari demokrasi yang kita punyai. Dengan watak Benalu yang menghisap sari pati "tanaman induk" seperti "habis manis sepah dibuang", lambat laun akan menggerogoti sendi-sendi demokrasi dan NKRI pada umumnya.
Tidak mudah melacak benalu yang disini telah bermetamorfosa dalam wajah lain. KH Hasyim Muzadi pernah memperingatkan bahwa saat ini--apa yang dinamakan ideologi Transnasional--sedang bergerilya, merembes ke pelosok-pelosok basis NU, menguasai masjid dan sarana pendidikan NU, lalu melancarkan doktrin politik yang menyerang NKRI. Beberapa waktu lalu juga muncul Surat edaran Pimpinan Muhammadiyah yang menyerukan kepada seluruh warga muhammadiyah untuk waspada terhadap aktivitas gerakan "muslim transnasional" lalu menjaga agar sarana pendidikan muhammadiyah tidak dibelokkan menjadi "markas besar partai politik" tertentu.
Apa itu ideologi Transnasional ? Ideologi transnasional adalah ideologi "impor" yang menggunakan topeng agama untuk memanipulasi motif dan gerakan politiknya. Ideologi transnasional pada dasarnya adalah "international political movement" (gerakan politik dunia) yang tak memiliki akar budaya, visi kebangsaan dan visi keumatan di indonesia dan perlu diwaspadai karena bertentangan dengan kepribadian bangsa, terutama bertentangan dengan ideologi negara pancasila, UUD 1945 dan NKRI.
Saya heran juga ketika Ide Khilafah yang dijual oleh HT masih tetap eksis di bumi pertiwi. Padahal sejatinya, Ide Khilafah ini menghendaki umat islam seluruh dunia berkumpul dalam satu "imperium", menafikan batas-batas teritorial (borderless) dan menghilangkan identitas nasionalisme berikut budaya lokal masing-masing. HTI bergerak di luar orbit NKRI, dan sebuah gerakan yang tidak mau mengakui dan tidak tunduk terhadap NKRI seharusnya sudah kita cap "subversif". Ormas inilah yang rajin menghujat, mengkritik, menggugat kebijakan Pemerintah dan konsep Demokrasi, tidak percaya terhadap apapun instrumen demokrasi semacam Pemilu dan partai Politik. seharusnya Ormas ini berterima kasih kepada Demokrasi yang menjamin kebebasan mereka untuk berkumpul, berkelompok dan menyatakan aspirasi, bukan malah melakukan "pembangkangan" terhadap demokrasi itu sendiri. Kelompok inilah yang tidak mau bersyukur dengan berkah kebebasan yang dihasilkan demokrasi malah menggunakan kebebasannya berpendapat untuk menyerang demokrasi dan NKRI. Sudah seharusnya warga negara waspada terhadap "ulah" kelompok ini.
Wahabisme adalah contoh benalu lainnya. Ideologi islam ketat yang berasal dari Arab saudi ini makin marak di indonesia dan sedikit banyak menjadi "inspirasi' tumbuhnya radikalisme islam di indonesia. Apalagi pelaku terorisme pun juga disinyalir menganut ideologi ini, dan bukan tidak mungkin juga wahabisme telah merasuk kedalam pola pikir kelompok islam garis keras lainnya semacam FPI dan tidak menutup kemungkinan juga telah meng-infiltrasi MUi untuk memproduksi Fatwa-fatwa yang justru anti demokrasi. Kelompok gerakan ini sangat mengagungkan masa lalu sebagai rujukan. Tema besar "kembali ke alqur'an dan sunnah" sesuai pemahaman generasi terdahulu selalu digembar-gemborkan untuk membedakannya dari kelompok lainnya. Tidak heran, anggota kelompok ini bangga bila disebut "Salafi" yang artinya "masa lalu". Pada dasarnya, para wali di Jawa, pada awal penyebaran islam-pun menganut wahabisme tetapi karena mereka sangat menjunjung-tinggi budaya lokal sehingga tidak ada gesekan berarti terhadap akulturasi nilai-nilai islam yang "arab" dengan masyarakat pribumi-tradisonal. Saat ini, penganut gerakan ini abai untuk pendekatan secara kultural kepada masyarakat dengan cara yang santun. Kelompok ini sangat suka menebar "vonis" negatif kepada kelompok masyarakat lainnya semacam tudingan bid'ah,tahayul. khurafat, sesat, kufur dan seterusnya kepada masyarakat muslim pribumi yang masih bersendikan adat.
ikhwanul muslimin adalah gerakan oposisi bawah tanah di Mesir, bahkan Nobelis Sastra asal Mesir semacam Orhan Pamuk akan pindah ke negeri orang lain jika Ikhwanul Muslimin menguasai pemerintahan Mesir. Dalam aksinya, kelompok ini melancarkan "standa ganda" dengan mengedepankan "topeng" pro demokrasi, pro sekularisasi--bahkan mengaku sebagai pluralis tidak lebih sebagai "kuda troya" untuk masuk ke poros-poros kekuasaan, secara ideologi--kita bisa lihat dari rujukan buku-buku karya Hasan Al Banna, Sayyid Qutb, Abul a'la Maududi yang menyerukan terbentuknya negara islam demi penerapan apa yang dimaksud "hukum Allah". Tak heran--bagi gerakan ini Kedaulatan rakyat itu tidak ada, yang ada adalah kedaulatan Tuhan yang pelaksanaannya berada di bawah otoritas Ulama--sesuatu yang kontraproduktif dengan pemerintahan demokrasi. Saat ini, pola gerakan "ikhwanul muslimin" sudah menyusup ke sebuah partai politik yang memiliki anggata paling militan, dan tentu saja sangat mungkin bisa digerakkan oleh para petinggi parpol tersebut untuk "merebut" infrastruktur ormas-ormas islam yang telah eksis sejak dulu kemudian dibelokkan menjadi "pangkalan politik" untuk melancarkan "hidden agenda"nya yaitu terwujudnya Negara islam.

Benalu juga diwakili oleh aspirasi perseorangan, semacam Ustadz Abu Bakar Ba'asyir. Dalam beberapa wawancara terungkap bahwa beliau emoh terhadap demokrasi, pancasila, pun NKRI, karena menganggapnya sistem "jahiliyah" bukan sistem yang menurut beliau "sesuai dengan syariat islam". bahkan keputusannya untuk mundur dari MMI-pun tak lupa didasari argumen bahwa "Kepemimpinan MMI tidak sesuai dengan syariat islam lagi". Entah apa yang dimaksud "sesuai syariat islam" yang ada di otak sang ustadz. Yang pasti, setelah cukup lama malang-melintang di Malaysia --yang notabene negeri semi otoritarian yang menganut syariat islam ketat--akhirnya ustad ABU bisa bebas berkiprah di indonesia, berdakwah, mendirikan organisasi, mendirikan pesantren ngruki -solo, yang kalau ditilik, lembaga Pesantren yang dia dirikan bersama kyai lainnya-pun tidak sesuai dengan takaran Alqur'an dan sunnah Nabi SAW, karena di zaman Nabi tidak dikenal yang namanya Pesantren. Namun itulah, karena kebebasan yang dijamin demokrasi-lah sang ustadz bahkan bisa menghujat demokrasi itu sendiri, pancasila dan NKRi dari atas podium ceramah tanpa takut ditangkap polisi seperti halnya di Malaysia. Sayangnya, karena mental benalu itulah, sang ustadz emoh berterima-kasih terhadap sistem yang justru telah membesarkan namanya--baik pro maupun kontra.
Mungkin masih banyak benalu yang tumbuh dan berkembang justru karena iklim demokrasi yang kondusif. Entah ini diwakili oleh sekelompok orang, pakar, politikus yang masih menjual ide sosialisme yang menurut frans Magnis suseno sudah "tamat" dan "tidak laku dijual" atau diwakili oleh sekelompok orang yang --dengan semangat ideologis--menjual ide negara Teokrasi, Khilafah dan sejenisnya untuk mengganti NKRI yang dirumuskan dengan kerja keras, keringat dan air mata oleh para "founding fathers" kita. sudah waktunya peribahasa "Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung" diterapkan kembali oleh seluruh elemen bangsa seperti yang dilakukan oleh para pendiri ormas islam terbesar NU dan Muhammadiyah. Indonesia adalah negeri muslim terbesar, tetapi bukan berarti islam cocok diterapkan secara formal-simbolistik dalam negara--seperti mencontek arab saudi, sudan, iran atau pakistan. Kita punya falsafah bangsa yang digali dari kebudayaan nasional, kita punya konstitusi yang dengan kesepakatan bersama --bisa diperbaharui demi kemajuan berbangsa. NKRI sudah final dan Pasti, dan untuk ini, saya yakin, para syuhada siap berkalang tanah demi mempertahankannya, terutama dari cengkraman para benalu yang menggerogoti tanah republik.

Pemilu legisatif pun telah usai, sorak sorai para pemenang  pun telah terdengar, gugatan dan kritikan dari yang kalah pun mulai terlontar, analisis dan ulasan dari para cendikiawan pun mulai bermunculan dan kekhawatiran dari rakyat kecil pun mulai lahir sebab prilaku elit politik semakin terbaca bahwa mereka memang hanya ingin kekuasaan. Akankan demokrasi kita mengantarkan rakyat bangsa ini menuju kesejahteraannya ?

Ditengah-tengah riuhnya sorak sorai partai pemenang pemilu legislatif, beberapa calon legislatif sedang menghitung jumlah utang-utang yang mereka harus bayarkan, yang mendapat suara banyak mungkin bisa bernafas lega tapi yang tak mendapat suara signifikan, ketakutan pun melanda, bayangan kehilangan harta benda untuk menutupi utang telah didepan mata. Inikah demokrasi yang kita inginkan ?
Diantara kembang kempis senyuman para elit politik yang telah memastikan dirinya mendapat jabatan sebagai anggota dewan, terdengar tangisan calon legislatif yang gagal padahal telah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk ukuran rakyat Indonesia. Harta benda telah habis dipertaruhkan di meja politik demi sebuah jabatan yang sangat prestisius itu.
Awalnya mimpi itu begitu indah dan sekarang kenyataannya kemiskinan didepan mata. Inikah demokrasi yang kita inginkan ?
Pada kemeriahan pesta syukuran, selamatan atas kemenangan yang dilaksanakan oleh calon legislatif pemenang pemilu, beberapa calon legislatif yang gagal tiba-tiba kehilangan kesadaran dan akal sehat, tiba-tiba menjadi terdiam, sebagian berteriak-teriak  bahkan ada yang menjadi anarkis menyakiti orang-orang didekatnya. Mimpi jabatan yang ditawarkan demokrasi membuat mereka stress bahkan gila sebab mereka tidak siap gagal hanya siap untuk menang. Inikah demokrasi yang kita inginkan ?
Ditengah-tengah carut marutnya DPT dan banyaknya tuntutan partai-partai yang kalah untuk pemilu ulang dan penilaian bahwa inilah pemilu terburuk sepanjang masa di Indonesia, beberapa caleg harus menarik kembali bantuan yang telah mereka sebarkan dimusim kampanye. Tak peduli apakah bantuan itu untuk orang miskin, untuk kelompok pengajian, untuk rumah ibadah, mereka tak lagi peduli. Mimpi kekuasaan yang ditawarkan demokrasi membuat mereka tak lagi mengenal yang namanya keikhlasan. Tidak ada lagi nilai-nilai kebaikan dan kebersamaan yang ada hanya kepentingan dan tatkala gagal meraup suara terbanyak, kemarahan pun menyeruak membunuh semua kebaikan yang pernah dilakukan . Inikah demokrasi yang kita inginkan ?
Ditengah-tengah riuhnya wacana koalisi dan bagi-bagi kekuasaan para elit politik, saling kunjung mengunjung antar pembesar partai, acara makan bersama para calon pejabat, beberapa calon anggota legislatif harus meregang nyawa dan mati demi demokrasi. Semangat hidup mereka dikalahkan oleh hinanya kekalahan, nyawa mereka relakan untuk dihabiskan di tali gantungan, sebab bunuh diri adalah pilihan bagi para pecundang meski janin juga mejadi korban yang tak tahu apa-apa atas demokrasi di Indonesia (kasus bunuh diri caleg PKB Jawa Barat yang Hamil 4 bulan). Inikah demokrasi yang kita inginkan ?
Demokrasi kita adalah demokrasi yang sangat mahal, sehinggah pemerintah harus mengeluarkan anggaran bermilyar-milyar untuk menjamin pelaksanaannya itupun pelaksanaannya carut marut. Setiap partai harus mengeluarkan biaya milyaran untuk konsolidasi, untuk kampenye bahkan untuk sewa pesawat terbang. Setiap calon legislatif harus mengeluarkan biaya beratus-ratus juta untuk membentuk citra dimasyarakat. Kaos, sticker, spanduk dan baliho hanyalah sedikit dari ongkos politik dalam demokrasi kita. Tatkala uang tidak ada maka utang pun menjadi pilihan. Sementara sudah bisa dipastikan korelasi antara hutang dan korupsi, semakin banyak utang seorang pejabat akan semakin besar pula keinginan korupsinya.
Demokrasi kita adalah demokrasi yang tidak siap kalah, demokrasi kita adalah demokrasi yang mengantarkan pelakunya untuk bermimpi menjadi penguasa yang kaya raya. Akibatnya tatkala kekalahan datang menyergap, hati, mental dan akal tidak siap menerimanya. Tatkala mimpi tak terwujud, maka Rumah Sakit Jiwa adalah peristirahatan terakhir.
Demokrasi kita adalah demokrasi kemunafikan, janji manis di musim kampanye, tebaran kebaikan dalan bentuk bantuan, hadiah, hibah dan kemanisan senyuman hanyalah kemunafikan sebab tatkala sadar tak bisa mendapat kekuasaan karakter culas pun terlihat dengan mengabaikan nilai-nilai, kebaikan pun menjadi hilang dan semua bantuan ditarik dan diminta kembali. Demokrasi kita tak memiliki lagi rasa malu. Tapi syukur mereka-mereka yang seperti itu tak jadi penguasa di negeri ini, sebab bisa dibayangkan jika mereka menjadi penguasa dengan sikap seperti.
Demokrasi kita demokrasi mata duitan, sebab rakyat dibiasakan dalam setiap pesta demokrasi dengan bagi-bagi  bantuan, bagi kaos, bagi-bagi duit. Rakyat tak lagi memilih berdasarkan kepercayaan, kapabilitas dan kualitas, tapi rakyat dibiasakan untuk memilih siapa yang memberi apa untuk mereka. Sebutlah kata “pemilu” yang muncul dipikiran rakyat negeri ini adalah bagi-bagi bantuan dan uang.
Demokrasi kita adalah jalan menuju perebutan kekuasaan dan kekayaan. Ghalibnya demokrasi hanyalah alat untuk mensejahteraan rakyat. Demokrasi adalah mekanisme pemberian amanah, pelimpahan wewenang dan penyerahan tanggung jawab dari rakyat kepada sekelompok kecil orang untuk mengelolah negeri ini, kekeayaan sumber daya alam didalamnya, mengatur segala yang ada dalam negeri ini untuk kesejahteraan rakyat. Tapi sayang demokrasi kita adalah demokrasi bagi-bagi jabatan dan bagi-bagi kekayaan.
Saat ini para elit sibuk menghitung pengeluaran selama kampenye untuk dikembalikan setelah menjadi pejabat. Sibuk menghitung kekuatan koalisi agar mendapat bagian jabatan. Pembicaraan bagi-bagi kekuasaan dibungkus dengan kata silahturrahmi antar elit agar rakyat tidak geram. Para elit itu sekarang tidak sadar bahwa hari ini jutaan rakyat tetap melanjutkan kehidupan dengan kemiskinan. Rakyat pun dilupakan sebab perhitungan kursi dan perolehan jabatan adalah lebih penting.
Demokrasi kita sedang sakit keras, sebab kita tak memahami filosofi dasar demokrasi yang mensejahterakan, sebab kita tak lagi peduli dengan demokrasi yang menjadi alat pengontrol kekuasaan, sebab kita tak lagi menjadi manusia dalam berdemokrasi, tapi kita telah menjadi binatang yang haus atas kekuasaan yang siap memakan temanya sendiri (homo homini lupus). Demokrasi kita sedang sakit sebab kita tidak ingin demokrasi kita sehat. Akankah demokrasi begini terus ?




Gila Demokrasi, Demokrasi Gila, Gila beneran....

Sejak era reformasi digulirkan, kran demokrasi dibuka lebar. Sebuah situasi yang pada saat era orde baru sangat tidak mungkin dilakukan. Masa orde baru adalah masa demokrasi pancasila dengan cara yang tidak demokratis, dimana demokrasi yang ada adalah demokrasi sandiwara ’maaf jika ada yang tidak setuju’, maksudnya? Sistem demokrasi yang dibangun sudah disetting sedemikian rupa sehingga hasil yang didapat tidak memperdulikan proses yang telah berlangsung. Yang kita bicarakan adalah pemilu, pemilu adalah suatu cerminan demokrasi suatu bangsa, dengan pemilu kita dapat melihat tingkatan demokrasi suatu bangsa.
Pemilu di Era Orde Baru menurut banyak pengamat politik sudah di setting, siapa yang akan menang, siapa yang akan kalah dan siapa yang akan jadi presidennya. Kita yang mungkin ingat bahwa pada saat pemilu di masa orde baru settingan itu sangat kentara semisal penghitungan suara yang ditampilkan di Televisi saat itu sangat cepat, bahkan mengalahkan pemilu 2009 yang ’canggih’ dan bahkan mengalahkan 2004 yang sangat baik. Di masa orde baru seminggu setelah pemilu kita bisa langsung mengetahui suara nasional yang masuk, tergolong canggih dimasa yang tidak secanggih saat ini.
Dengan bergulirnya Era Reformasi, seakan akan masyarakat Indonesia jadi ’melek’ politik, ’melek’ demokrasi. Ibarat orang yang sudah ’ngempet’ sekian lama kemudian diberi kesempatan maka langsung ’brol’, mengalir semuanya. Masyarakat Indonesia seakan-akan ’Gila Demokrasi’. Mereka berlomba-lomba mendirikan banyak sekali partai politik, tercatat 48 partai politik ikut serta pada pemilu pertama pada Era Reformasi tahun 1999, itu belum tercatat partai politik yang tidak lolos verifikasi. Masyarakatpun antusias untuk mengikuti jalannya pesta demokrasi setelah lebih dari 40 tahun tidak pernah ada pesta demokrasi. Sebagai catatan pesta demokrasi terakhir adalah pada tahun 1955, jika pun ada pesta demokrasi pada saat orde baru itu hanyalah pesta-pesta bohongan.
Pada tahun 1999 masyarakat Indonesia sangat antusias untuk mengikuti pesta demokrasi, dimana pada saat itu gaung akan demokrasi sangatlah tinggi. Setiap orang membicarakan tentang politik, tayangan televisipun banyak didominasi tayangan polotik, bahkan saat itu ada beberapa siaran bersama televisi khusus dialog politik. kampanyepun sangat marak, mungkin juga saat itu golput tergolong sangat kecil, karena adanya harapan dengan memilih wakil rakyat yang baru maka kehidupan bangsa yang sudah carut marut ini dapat diselesaikan.
Setelah pemilu tahun 1999, Indonesia mengalami perubahan demokrasi, jika diawal era reformasi indonesia sedang ’gila demokrasi’ maka setelah era reformasi berjalan menjadi ’demokrasi gila’. Demokrasi gila? gila dalam artian segala hal, untuk mencapai tujuan sekarang demokrasi terasa diluar akal sehat. Politik bisa digambarkan seperti rangkaian gerbong kereta, jika kita satu arah, kita akan digandeng, jika sudah tidak searah kita akan ditinggalkan begitu saja distasiun. Tapi sekarang bisa jadi belum sampai stasiun tujuan jika dirasa sudah tidak sejalan kita akan dilepas begitu saja. Itulah yang terjadi saat ini, apalagi selama masa penentuan koalisi setelah pemilihan legislatif, perubahan teman jadi kawan, kawan jadi teman bisa dalam hitungan jam. Partai yang jelas-jelas beda latar belakang, pada saat kampanye bermusuhan, ditataran akar rumput berperang bisa berkoalisi. Suara rakyat yang diamanatkan menjadi permainan elit politik untuk mencari kekuasaan tanpa mempedulikan suara pemilih mereka.
Jika ditataran elit partai politik sedang ’demokrasi gila’ maka ditataran masyarakat banyak orang yang menjadi gila. banyak orang yang menjadi gila dikarenakan kenyataan sanagt jauh dari harapan. Seperti diketahui pemilu 2009 adalah pemilu dengan biaya yang sangat besar, baik biaya materi, biaya tenaga, biaya waktu, biaya pikiran, biaya nyawa hingga biaya poltik yang cukup besar. Sistem suara terbanyak menjadikan para calon legeslatif untuk berlomba menjadi wakil rakyat dikarenakan mereka merasa setiap orang punya kesempatan yang sama, sehingga mereka mengeluarkan semua kemampuan untuk mencapai tujuan tersebut.
Jumlah caleg DPR, DPD, DPRD Propinsi dan DPRD Kota/Kabupaten + 1,5 juta orang sedangkan jumlah kursi yang tersedia kurang dari 1 persen. Banyak caleg yang mengeluarkan biaya diluar kemampuan mereka, seorang pengamat politik-Arbi Sanit memperkirakan untuk caleg DPR RI dana yang dikeluarkan minimal Rp. 1 Milyar. Wah uang sebanyak itu didapat dari mana ya..? kalo jadi anggota DPR cara mengembalikannya gimana ya... ? kalo tidak jadi gimana ya.. ? ya... mungkin kita semua sudah tahu.... baik yang jadi DPR maupun yang tidak jadi. Mereka semua gila.... baik yang menang pileg maupun yang kalah pileg. Yang menang dianggap gila karena tanpa menggunakan akal sehat mempermainkan suara rakyat demi mencapai tujuan kelompok mereka. Yang kalah benar-benar gila jika tidak kuat menerima kekalahan itu. Sedangkan masyarakat dibuat gila melihat tingkah laku mereka. Jadi dari ’Gila Demokrasi’ menjadi ’Demokrasi Gila’ hingga menjadi ’Gila beneran’. Kalo gila mudah aja, datang ke Rumah Sakit Jiwa, dekat rumah saya ada kok....


Soe Hok GIE dan postmodernisme



Tidak ada yang menyangka hari itu di sebuah Desember tahun 1969 Soe Hok Gie atau biasa di panggil GIE (27 ) menghembuskan nadas terakhirya di puncak sang mahameru . Aktifis UI medio 66 ini ti dak lagi bisa menuliskan kata kata pedasnya bagi sebuah keadaan yang carut marut saat itu—mungkin juga sampai sekarang.
Generasi sekarang tidak banyak yang mengenal Soe Hok Gie . Ada yang bilang ia terlahir hanya untuk menorehkan nama di nisan museum prasasti ,seprti sepenggal kalimat yang di ukir di nisannya ” no one understand my sorrow” . Sampai ketika di tahun 2005 film besutan Riri riza -- seorang sutradara muda yang sukses lewat film Petulangan sherina dan film remaja Ada apa dengan cinta ---berjudul nama belakang soe hok gie ” GIE” berhasil memukau publik dan mengembalikan ingatan romantika dirinya dan tahun enam puluhan.
Tokoh Gie dalam film tersebut diperankan oleh Nikolas Saputra adik kelas gie di UI angkatan tahun 2000. Tidak ada kemiripan antara keduanya, yang satu mongoloid yang satu jelas kaukasoid. Namun entah bagaimana Riri bersama timnya mengkonstruksi sedemikian maka lahirlah seorang GIE yang berpenampilan kaukasoid.
Niko begitu sapaan akrab nikolas Saputra yang juga pernah membintangi film ada apa dengan cinta dan menjadi popular dikalangan anak muda sekitar 2000 -2005 denagn tokoh rangganya. Aktingnya yang dingin dan macho mapu merebut hati para remaja terutama remaja wanita..
Rangga dan gie mungkin dua karakter yang berbeda tetapi dalam film gie karakter rangga telah m enjadi citra utama dalam memberikan konstruksi hiperealitas pada sosok GIE yang fenomenal itu . Perlu dipertanyakan yang muncul dalam film gie itu apakah soe hok gie atau Rangga (niko).Apakah tokoh niko telah menjadi simulasi bagi gie dan bagimanakah kekuasaan budaya konsumsi mengimplosi relitas tentang gie
Pertanyaan tentang bagaimana citar citar itu lepas dari rujukannya paling pas jika dilaletakan datas asumsi dunia dan masyarakat postmodern . Karakterisitk utama dari ruang/pemikiran/ tataran waktu ini adalah yang oleh J.P baudrillard serang filsuf perancis disebut sebagai simulakra yaitu suatu citra murni yang terlepas dari rujukannya dia hanya menjadi citra kososng tanpa pernah merujuk pada detil dan eksitiaensi fakta rujukannya denagn kata lain tidak merujuk pada potongan realitas aslinya. hanya menjadi penanda bagi penanda itu sendiri.

Gie dan masyarakat tontonan
Dalam memandang fenomena ”GIE ” dan masyarakat tontonan ini pertama tama perlu dipaparkan asumsi utama tentang postmodern itu sendiri. Dick hebdige seorang pengamat postma memberikan tiga hal utama menyangkut kondisi postmodern . pertama , adalah penolakan pada totalisasi, bahwa saat ini kita dikuasai oleh kepercayaan bahwa modernias adalah suatu penyelesaian atau akhir dan asusmsi asumsi modernitas merupakan suatu bahasa tentang benar dan salah itu sendiri sehingga adanya suatu totalisasi dan justifikasi terhadap suatau abstraksi sehingga abstaraksi lain yang jauh dari nlai nilai kekuasan—atas nama kemodernana- dianggap salah dan merupakan sesuatu yang dilarang dan dipinggirkan atau diberi label kuno dan tak terpakai.
Kedua , penolakan pada teleologisme, menurut hebdige bahwa akibat adanya kapitalisasi dan penggunaan media serta pembentukan citra palsu dari wacana maka kita dimasa ini tidak mampu mengatakan bahwa setiap penanda penanda baik dalam bentuk wacana atau pun ilmu pengetahuan sekalipun mampu memberikan kebenran absolut. Artinya disini bahwa kepastian kepastian tentang kebenaran seperti struktur dalam strukturalisme dan determinasi ekonomi dalam marxist klasik menjadi kabur dan sangat rentan terhadap perdebatan dan kenihilan karena dicurigai kemungkinan kemungkinan distrosi dan deviasi makna atau motif didalamnya sehingga menyangkut apa yang di ungkapkan baudrillad tentang hiperealitas dan simulasi , dimana kini relitas yang dituju itu menjadi palsu akibat kekuatan kekuatan yang menaikan citra dan mengimplosi realitas ke dalam citra.
Ketiga, penolakan terhadap utopia, kita dalam alam modern sering sekali mendengar tentang masyarakat adil makmur, kesejahteraan , impian impian dalam berbagai film film dan terbitan terbitan futuristik ini adlah suatu yang sangat tidak pasti, bahwa impian impian itu hanyalah rekyasa citra semata yang jauh dari realitas yang berdiri sendiri dalam ruang ruang utopis yang menyajikan kepalsuan .
Dalam asumsi ini maka gie sebagai sebuah penanda dapat dijelaskan sebagai berikut pertama, gie telah memasuki /dimasukan dalam suatu medan dimana apa yang diceritakan media tentang sosoknya menjadi suatu citra palsu suatu hiperealitas bukan lagi sebuah realitas yang jujur, Gie dikonstruksi untuk kepentingan komersial tertentu ditampilkan dalam bentuk suatu nostalgia ,sedang kan kehidupan relitasnya gie adalah suatu prahara bangsa yang menjadi perenungan sehingga citra gie adalah seakan akan penanda penanda palsu yang hanya memenuhi kebutuhan penonton untuk merasa senang tanpa pernah peduli bagaimana pola pola kejadian yang lebih besar yang melingkupi gie.
Melihat film sebagi media maka konstruksi film dengan segala teknologinya telah menghasilkan seorang sosok gie baru yang hipereal . Bukan lagi soe hok gie tetapi gie dan bahkan ”gie gie” an/ tiruan . Yasraf amir piliang dalam bukunya berjudul hipersemiotika mengatakan bahwa media kerap menyajikan tanda- tanda palsu yang merupakan hasil rekayasa citra dan imagologi untuk menjelaskan sebuah peristiwa yang sesungguhnya tidak terjadi sepenuhnya.
Kedua, gie disajikan dalam bentuk pembenaran tentang hiperealitasnya, disini deviasi pencitraan sosok Gie melalui sosok niko yang dijadokan sosok acuan ikonis Gie yang baru berusaha menciptakan trend dan pembenaran bahwa sosok niko adalah gie padahal disini sosok gie bukan lah niko sosok gie adlah orang lain yang ada dalam catatan sejarah ,mungkin sejarah kelam negeri ini. Namun sosoknya kini menjadi”nabi” baru dengan kesempurnaan fisik dan konstruksi intelektual yang digambarkan oleh citraan di film--- kendati aslinya tdak demikian gie hanya pria keturunan yang kurus dan sederhana tidak seperti sosok niko yang secara fisik proporsional.
Guy Debord mengasumsikan dunia postmo dengan konsep masyarakat totonan. Masyarakat tontonan menurut Debord dalam masyarakat ini semua bentuk fakta telah bergerak menuju suatu representasi. Representasi ini kemudian membangun suatu realitas tontonan dan tontonan itu menurut Debord menjadi sesuatu yang nyata.
Gie dalam hal ini telah dikonstruksi menjadi sebuah realitas tontonan . Dimana Riri riza sebagai sutradara dan produser menampilkan Gie sebagai suatu konstruksi tontonan . Apa yang dibutuhkan masyarakat tontonan untuk memebuhi hasrat kesenagannya ditampilkan melaui GIE artifisial ini . Wajah yang ganteng dan visualisasi sekitar yang mengundang nostalgi semata dihadirkan , ini jauh dari realitas kehidupan gie sendiri yang penuh kontoversi dan pemikiran serius tentang sejarah dan situasi ketika ia hidup--- ditengah kerisis dan carut marutnya dunia dan indonesia pada khususnya pad thn 1960an dimana perang dingion sedang pekat berkecambuk dan menyebebkan banyak krisis di berbagai negara seprti perang vietnam dan pembrontakan G 30 S PKI . Penoton jelas dibawa keatas panggung sandiwara yang menyenangkan dan membuai melalui suatu konstruksi sejarah palsu yang menghadirkan romantika romantika secara sepotong - sepotong tanpa menghadirkan esensi fakta secara tepat tetapi lebih kepada konstruksi yang melenceng dan artifisial ,dengan memasukan figur serta konstruksi- konstruksi poluler demi kepuasan penontn atas fetitsme yang dihadirkan melalui konstruksi tontonan tersebut—dengan menghadirkan citra ciitra populer dari masyarakat totntonan indonesia seprti Niko ,Happy Salma atau wulan guritno yang mungkin tampilan seprti mereka memang ada tapi dalam hal ini mereka adalah alat kapitalist untuk mengeruk atau menghasilkan daya tarik tontonan semata . Semetara realitas tentang pergerakan dan gejolak yang memacu degup jantung dan kengerian- kengerian ala 1960 an yang sebenarnya oleh Gie coba digambarkan dalam caatan hariannya sebagai bentuk kontemplasi dan pemikiran serius justru dipotong potong . Semua tampak seprti sebuah perayaan tentang era 1960 dan kehedonismeannya bukan suatu paparan relitas semata hanya sebuah perayaan tontonan spectacle celebration party.
Ini semata mata untuk memproduksi suatu komoditas kesenangan. Kesenagan yang bisa mendatangkan perhatian penonton dengan konsekuensi komerisal tentunya . Namum patut disayangkan adalah konstruksi disini bukan bermotif konstruksi dari sebuah hasrat kesejarahan yang mencoba membeberkan sebuah fakta dan kondisi . tetapi ini adalah konstruksi yang hadir atas refleksi keinginana dari hedonisme pasar. Bukan untuk menarik masyarakat berfikir serius tentang kondisi bangsa pada saat itu tetapi intuk menikamti kondisi bangsa dalam nostalgia palsu tentang seorang pemuda keturunan bernama soe hok gie ini dan ii juga semata mata agar film tersbut sukses sec ara komersial.


Celebritisasi soe hok gie
Pemakaian Nikolas Saputra sebenarnya telah menarik citra GIE ke dalam pembentukan suatu citra jual dengan menempelkan citra selebritas Niko pada konstruksi realitas sosok Gie. Selebritas sendiri dalam alam dunia kapitalis merupakan suatu kelas dan disatu sisi juga komoditas yang mampu menghasilkan suatau nilai tukar tertentu .
Gie yang kemudiann di rekonstruksi ulang dengan menempelkan citra Nikolas pada dasarnya telah mengalami celebritsasi . Gie pada dasarnya bukanlah seorang selebriti di negeri ini—dalam pengertian selebiti pop..tetapi ia lebih merupakan sosok dari sebuah lingkungan budaya tinggi atau high culture -- ,ia hanya dikenal sebagai bagian dari high culture negeri ini . Sedangkan kelas selebritis adalah orang orang yang dikenal dalam pop culture dalam masyarakat.
Selebriti pada dasarnya adalah kelompok orang yang dikonstruksi sedemikian rupa baik gelagat maupun penampilannya untuk kepentingan masyarakat tontonan , dalam hal ini oleh media . Media sebagai cultural industry menurut David holmes membentuk seseorang untuk berprilaku benar dalam aturan aturan tertentu utnuk dikonstruksikan oleh tampilan tampilan tertentu dalam kamera. Sehingga konstruksi gie telah menyeret gie kedalam suatu posisi budaya dimana yang tadinya ia adalah bagian dari pembicaraan budaya tinggi menjadi pembicaraan pop atau mass culture,
Dengan dikonstruksinya gie melalui niko sebenarnya gie telah dijadikan budaya pop, menjadi selebriti adalah bagian dari konstruksi budaya pop yang oleh Thedodor Adorno dalam sebuah essy nya yang berjudul The cultural Industry dikatakan bahwa ini semua di kontrol bukan lagi oleh isi pesan dan tujuan tujuan kutural yang luhur tetapi justriu oleh motif kapital yang kemudian menurut Adorno mendangkalkan arti dari budaya itu sendiri. Dalam hal ini merendahkan arti dari sosok gie itu sendiri dimana gie dengan serta merta dikonstruksi ulang –melalui nikolas saputra- dan dijadikan citra tontonan yang pada akhirnya menghasilkan suatu pertumbuhan kapital bagi pihak tertentu.
Niko ,gie dan simulacrum
Fenomeona Niko dan gie bisa dijelaskan melalui teori simulasi yang dikemukakan oleh Baudrillard. Menurut Baudrillard bahwa bentuk dari hiperrealitas yang memproduksi proses- proses simulasi. represntasi atas sesuatau dalam fase simulakra dalam hal ini representasi media berusaha menghisap suatu simulasi dengan menafsirkan sebuah fakta palsu.
Denagn kata lain represntasi telah menjadi citra kososng atau mewakili citra itu sendiri dan ini disebut simulasi ( pure simulacrum).
Soe hok Gie sebagai citra dalam film ”GIE”--- seperti juga yang dipandang oleh banyak orang- telah terlepas dari realitas soe hok gie. Yang dibangun sekarang adalah simulasinya yaitu sosok Gie yang berwajah niko . Gie telah terimplosi dan menjadi citra murni tanpa kita tahu fakta sejarah dan ide ide filosofis yang mewarnai kehidupan sebenarnya.
Dalam fase yang lebih lanjut seprti yang diutarakan Baudrillard tentang pure simulacrum maka gie tingglah menjadi tulisan tulisan atau grafis yang tidak berarti sama sekali . Hanya menimbulkan sensasi kesenangan belaka.
Nikolas saputra yang kini diidentifikasi sebagai gie ala 2000 an ini pada dasarnya adalah bagian dari masyarakat tontonan ,lekuk tubuh dan ketampanannya menimbukan fetish tertentu . dan ke fetishan ini tidak lagi menghubungkan ide utama tentang gie..tetapi hanya suatu citra palsu dan banal tentang garis dan bentuk muka seseorang yang menyenangkan, seperti niko.
Bahkan untuk tujuan komoditas kesenagan film gie melencengkan fakta tentang orang orang di sekeliiling gie seperti tiga gadis yang tidak pernah disebutkan namanya dalam catatan harian gie ditampilkan dengan nama dan sosok tertentu (wulan guritno dan Rida ). artinya disini cerita tentang gie sudah ltidak merepresentasikan gie dan benang merah hidupnya . tokoh yang dipaksa hadir dengan diperankan oleh dua sosok pesohor itu tentu akan mendongkrak nilai tukar dari film dan tentu dalam masyarakat tontonan itu menjadi tontonan yang baik. Ketimbang jika mereka tidak di tampilkan ,tapi sekali lagi ini justru mengimplosi lebih dalam realitas tentang gie itu sendiri

Gie milik siapa?
Gie lepas dari sosok aslinya adalah simbol/ penanda yang merujuk atas sesuatu . Gie hidup dalam kurun tertentu yang di museumifikasi dalam bentuk catatan dan konstruksi sejarah. Sedangkan sejarah sendiri penuh dengan campur tangan kekuasaan. Sehingga simulasi citra gie tidak lepas dari bagaimana kekuasaan mengkonstruksi sejarah.
Menurut Peter L Berger dan Thomas luckman dalam buku social constuction fo reality : a treatise of its the sociology of knowledge (1966) bahwa masyarakat adalah produk manusia dan manusia diproduksi oleh masyarakat(socially product) . dan proses konstruksi ini berlangsung juga untuk meng konstruksi proses melalui penanda- penanda atau simbol simbol yang disebut oleh mereka sebagai obyektifikasi. Sehingga menurut mereka pada dasarnya realitas di tentukan atau dibuat melalui hubungan social atau socially constructed. Proses konstruksi ini sudah barang tentu sangat dipengaruhi oleh kekuasaan bagaiman tekanan dan hegemoni kekuasaan menuntut untuk dikonstrruksinya penanda- penanda tertentu sebagai bentuk realitas –- begitupun sejarah sebagai konstruksi realitas sejarah.

Sehingga bagaimana suatu itu ada maka ditentukan oleh kekuatan kekuatan sosial dalam mengkonstruksi realitas. Hiperealitas gie juga demikian, gie yang dikonstruksi ulang oleh film GIE adalah juga medan pertempuran konstruksi sosial. Yaitu konstruksi simbolik. Yang oleh Pierre bordieu ini disebut juga simbolic capital yaitu bagaimana sebuah legitimasi simbol sebagi bentuk kapital yang di ertarungkan antar berbagai kekuasaan.
GIE kini kini bukanlagi milik gie tetapi milik kekuasaan pengkonstruksi realitas. Ini tidak lepas dari suatu motivasi kekuasaan untuk memenuhi hasrat masyarakat konsumen dan tontonan yang diujungnya mendatangkan suatu profit tertentu buat penguasa penguasa itu. Penguasa- penguasa ini bisa berupa keukasaan politik dan yang lebih dekat adalah kekuasaan kapitalis yang mencoba mengkomodifikasi budaya agar dengan serta merta mempunyai nilai tukar. Perusahaan film yang membuat gie berusaha menarik sponsor melalui citra Gie. Motivasi masyarakat tontonan mampu melakukan koogulasi atau pengumpulan para audience pada satu bentuk tontoooonan yang ini akan mendatangkan para pengiklan . dan sudah barang tentu ini menghasilkan profit untuk pertumbuhan capital gain dari perusahaan itu . Dallas Smythe berpendapat bahwa pada dasarnya media berusaha menjual audience atau kumpulan audience pada pengiklan untuk pertambahan keuntungannya.
Gie sebagai simbol sejarah dan budaya bangsa ini coba didangkalkan melaui film gie, semata mata untuk menyetuh kepopuleran yang bermuara pada bagaimana sosok gie ini menjadi citra yang menjual kalau perlu melepas gie dari faktanya sendiri dan menempelkannya pada bentuk bentuk selebritas rendahan dan populer hanya agar konstruksinya itu menghasilkan suatu nilai tukar untuk diperjual belikan. Dan kini jawaban diatas bisa dijawab bahwa gie tidak lagi menjadi milik Gie teapi milik kekuasaan baik kapital maupun budaya.
Kesimpulan
Gie sebagai bagian dari sejarah dikonstruksi ulang menjadi sebuah tokoh dalam film yang bertajuk namnya sendiri ’gie’. Konstruksi ini menybabkoan gie menjadi sebuah simuolakra , ini merupakan sebuah gejala lepasnya citra dari roujukan.
Hipereelaitas gie adalah suatu gejala yang timbul dalam masyaraka postmo yang identik denagn pola konsumsi citar bukan konsumsi material yang akhirnya cirtra lepas dari esensi seprti halnya gie lepas dari gie ”nya sendiri dan menjadi rangga (nikoloas saopurtra)
Ini tidal lepas dari bagaiman prilaku perusahan film dan periklanan yang berusha menisi profit merka denagn memenuhi tuntutan budaya konsumen da masyarakat tontonan yang pada akhirnya mengorbankan citra citar atdenagn mengimpolosi reliotas sehingga masyarakat dipenuhi oleoh pure simulakrum.
Imploikasi dari gejala ini kedepan mungkin kasus gie ini akan banyak terdapat dalam fakta keseharian hidup seprti ekonomi sosial b, budaya, dan yang lebih mengrikan politik.