THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

aLL VideO n' MUsic Post hardcore, Hardcore, ....


MusicPlaylistRingtones
Create a playlist at MixPod.com

aPa itu ANARKI??

Di Indonesia, istilah anarki, anarkis atau anarkisme digunakan oleh media massa untuk menyatakan suatu tindakan perusakan, perkelahian atau kekerasan massal. Padahal menurut para pencetusnya, yaitu William Godwin, Pierre-Joseph Proudhon, dan Mikhail Bakunin, anarkisme adalah sebuah ideologi yang menghendaki terbentuknya masyarakat tanpa negara, dengan asumsi bahwa negara adalah sebuah bentuk kediktatoran legal yang harus diakhiri.

Negara menetapkan pemberlakuan hukum dan peraturan yang sering kali bersifat pemaksaan, sehingga membatasi warga negara untuk memilih dan bertanggung jawab atas pilihannya sendiri. Kaum anarkis berkeyakinan bila dominasi negara atas rakyat terhapuskan, hak untuk memanfaatkan kekayaan alam dan sumber daya manusia akan berkembang dengan sendirinya. Rakyat mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri tanpa campur tangan negara.

Kaum punk memaknai anarkisme tidak hanya sebatas pengertian politik semata. Dalam keseharian hidup, anarkisme berarti tanpa aturan pengekang, baik dari masyarakat maupun perusahaan rekaman, karena mereka bisa menciptakan sendiri aturan hidup dan perusahaan rekaman sesuai keinginan mereka. Punk etika semacam inilah yang lazim disebut DIY (do it yourself/lakukan sendiri).

Keterlibatan kaum punk dalam ideologi anarkisme ini akhirnya memberikan warna baru dalam ideologi anarkisme itu sendiri, karena punk memiliki ke-khasan tersendiri dalam gerakannya. Gerakan punk yang mengusung anarkisme sebagai ideologi lazim disebut dengan gerakan Anarko-punk.

Penulis memperhatikan bahwa sebagian besar media massa itu, telah menggeserkan makna dalam penggunaan kata anarki dan anarkis. Yah, tulisan ini sekadar mengingatkan kembali makna sebenarnya dari kata anarki dan kata-kata derivatnya. Cobalah membuka beberapa kamus, seperti kamus Oxford, Kamus Besar Bahasa Indonesia, berbagai kamus Inggris-Indonesia, Kamus Tesaurus dan lain-lain. Maka kita akan menemukan makna kata-kata (anarki dan derivatnya ini) sebagai berikut:
Anarki (dari kata anarchy), artinya ialah suatu keadaan dimana  tidak ada  kontrol kekuasaan atau hukum atau ketiadaan pemerintah/penguasa.
Sedangkan kata anarkis bermakna orang (anarkis=kata benda/noun, jadi bukan kata sifat) sebagai terjemahan dari kata anarchist, yang artinya penganut faham anarkisme.
Kemudian ada kata anarkik (dari kata anarchic) yang bermakna kurang lebih tindakan atau perilaku dari kaum anarkis.
Selanjutnya ada kata anarkisme (dari anarchism) yang bermakna faham atau ide atau ajaran tentang peniadaan/pembatalan kontrol kekuasaan pada masyarakat/negara, yang oleh kaum anarkis dicitakan untuk mengganti sistem ini dengan sustu sistem voluntir/kesukarelaan, atau faham akan sistem masyarakat berbasis kooperasi.
Sedangkan makna anarkistik, adalah sifat/kondisi atau situasi yang ingin diciptakan oleh faham anarkisme.
JADI, jika di media massa disebutkan istilah demontrasi anarkis, ini bermakna sebuah demontrasi yang dilakukan para anarkis atau para penganut faham anarkisme (sekali lagi, kata anarkis bukan kata sifat, tetapi kata benda/noun).
Jika yang dimaksudkan oleh beberapa media massa adalah demontrasi yang bersifat anarki, maka seharusnya kata yang digunakan adalah anarkistik (anarkistik = bersifat anarki, kata sifat/adjective).
Dalam Kamus besar Bahasa Indonesia, arti anarki (noun/kata benda) adalah kehuru-haraan, kekacauan, kerusuhan, keruwetan, dan pemberontakan. Sedangkan arti kata anarkis (noun/kata benda) adalah pemberontak, pengacau, perusuh (jadi anarkis=menunjuk pada orangnya).
Sebenarnya, kesalahan dalam penggunaan kata semacam ini, juga sering kita lakukan dalam istilah/kata optimis dan optimistik. Sering kita tidak mengira bahwa kata/istilah optimis = kata benda/noun, yakni menunjuk pada subjeknya (orangnya). Sedangkan untuk menunjukkan sifatnya, dipakailah kata/istilah optimistik (terjemahan dari optimistic).
 
Kata “anarki” berasal dari bahasa Yunani, awalan an (atau a), berarti “tidak”, “ingin akan”, “ketiadaan”, atau “kekurangan”, ditambah archos yang berarti “suatu peraturan”, “pemimpin”, “kepala”, “penguasa”, atau “kekuasaan”. Atau, seperti yang dikatakan Peter Kropotkin, anarki berasal dari kata Yunani yang berarti “melawan penguasa”. (Kropotkin’s Revolutionary Pamphlets, hal 284)
Meski kata-kata Yunani anarchos dan anarchia seringkali diartikan “tidak memiliki pemerintah” atau “ada tanpa pemerintah”, seperti yang dapat dilihat, arti orisinil anarkisme yang tepat bukanlah sekedar “tidak ada pemerintah”. “Anarki” berarti “tanpa  suatu peraturan” atau lebih umum lagi, “tanpa kekuasaan”, dan dalam pemahaman inilah kaum anarkis terus menggunakan kata ini. Contohnya, kita ketahui Kropotkin berpendapat bahwa anarkisme “menyerang bukan hanya kapital namun juga sumber-sumber utama kekuatan kapitalisme: hukum, kekuasaan, dan negara”. (op.cit., hal 150) Bagi kaum anarkis, anarki berarti “bukannya tidak memerlukan tatanan, seperti yang dipikirkan pada umumnya, namun suatu ketiadaan peraturan”. (Benjamin Tucker, Instead of Book, hal.13) Dan kemudian David Weick menyimpulkan dengan sangat baik:
“Anarkisme dapat dipahami sebagai pemikiran umum mengenai sosial dan politik yang  mengekpresikan pengingkaran terhadap semua kekuasaan, kedaulatan, dominasi, dan divisi yang hierarkis, serta merupakan sebuah kehendak untuk menghancurkannya… Oleh karena itu anarkisme lebih dari sekedar anti negara… (bahkan jika) pemerintah (negara)… merupakan focus sentral yang tepat dari kritik kaum anarkis.”(Reiventing Anarchy, hal. 139)
Untuk alasan ini, daripada menjadi sekedar anti pemerintah, atau anti negara, anarkisme terutama adalah gerakan yang melawan hierarki. Mengapa? Karena hierarki adalah struktur organisasional yang mewujudkan kekuasaan. Karena negara adalah bentuk “tertinggi” dari hierarki, kaum anarkis, sesuai definisi, adalah anti negara; namun definisi ini tidak cukup untuk menjelaskan anarkisme. Artinya kaum anarkis yang sesungguhnya melawan semua bentuk organisasi hierarkis , tidak hanya negara. Dalam pernyataan Brian Morris:
“Term anarki berasal dari Yunani dan secara esensial berarti ‘tanpa aturan’. Kaum anarkis adalah orang-orang yang menolak semua bentuk pemerintahan atau kekuasaan koersif, semua bentuk hierarki dan dominasi. Oleh karenanya mereka melawan apa yang disebut oleh seorang anarkis Mexico, Flores Magon, sebagai ‘trinitas sombre’ –negara, kapital, dan gereja. Jadi kaum anarkis menolak kapitalisme dan negara sama seperti bentuk-bentuk kekuasaan religius. Namun kaum anarkis juga berusaha menegakkan atau memunculkan, dengan berbagai macam cara, suatu kondisi anarki, yaitu masyarakat yang terdesentralisasi tanpa institusi koersif, suatu masyarakat yang diatur melalui federasi asosiasi-asosiasi sukarela”. (“Anthropology and Anarchism”, Anarchy: A Journal of Disire Armed, no: 45, hal.38)
Referensi terhadap “hierarki”  dalam konteks ini merupakan perkembangan baru yang cukup baik – kaum anarkis  “klasik” seperti Proudhon, Bakunin, dan Kropotin jarang menggunakan kata tersebut  (mereka lebih menyukai “penguasa”, merupakan kependekan dari kekuasaan). Namun, menjadi jelas bahwa tulisan mereka merupakan sebuah filsafat yang melawan hierarki, ketimpangan kekuasaan atau hak-hak istimewa di antara individu. Bakunin membicarakannya  ketika menyerang “aparat” kekuasaan namun membela “pengaruh alami”, dan juga ketika ia berkata:
“Inginkah kamu menjadikan penindasan seseorang terhadap yang lain sebagai sesuatu yang tidak mungkin? Maka pastikan bahwa tak seorang pun memiliki kekuasaan”.(The Political Philosophy of Bakunin, hal. 271)
Seperti yang dikatakan Jeff Draughn, “meski anarkisme selalu menjadi bagian laten ‘proyek revolusioner’, hanya yang muncul baru-baru ini saja yang memiliki konsep anti hierarkis yang lebih luas yang muncul dari penelitian yang lebih cermat. Meski demikian, akar dari hal ini dapat dilihat dengan jelas di dalam akar kata ‘anarki’ menurut bahasa Yunani.” (Beetwen Anarcism and Libertarianism : Defining A New Movement)
Kita menekankan bahwa oposisi terhadap hierarki ini, bagi kaum anarkis, tidak terbatas hanya pada negara atau pemerintah. Ia juga meliputi semua hubungan sosial dan ekonomi yang otoriter seperti halnya politik, khususnya yang terhubung dengan hak milik kapitalis dan upah buruh. Hal ini dapat dilihat dari argumen Proudhon bahwa “Kapital… dalam bidang politik seanalog dengan pemerintah… Pemikiran perekonomian kapitalisme… (dan) politik pemerintah atau penguasa … (adalah) identik … (dan) terhubung dalam bermacam-macam cara … Apa yang dilakukan kapital kepada buruh… (dilakukan) negara terhadap kebebasan…”(Dikutip oleh Max Nettlau, A Short History of Anarchism, hal 33-44). Jadi kita ketahui bahwa Emma Goldman melawan kapitalisme karena kapitalisme melibatkan orang yang menjual tenaganya sehingga memastikan bahwa “inklinasi dan penilaian pekerja berada di bawah kehendak sang tuan” (Red Emma Speaks, hal 36). Empat puluh tahun sebelumnya Bakuknin juga membuat poin yang sama ketika ia berpendapat bahwa di bawah sistem ini “buruh menjual kepribadian dan kebebasannya selama waktu tertentu” kepada kapitalis untuk ditukar dengan upah.
Jadi “anarki” memiliki arti lebih dari sekedar “tanpa pemerintah”, anarki memiliki arti perlawanan terhadap segala bentuk hierarki dan organisasi yang otoriter. Dalam kata-kata Kropotkin, “awal mula kelahiran kaum anarkis dalam masyarakat… (terletak pada) kekritisan … organisasi yang hierarkis dan konsepsi masyarakat yang otoriter; dan … analisa kecenderungan yang terlihat dalam gerakan progresif umat manusia”. (Kropotkin’s revolutionary Pamphlets, hal 158) Jadi usaha apapun untuk menegaskan bahwa anarki adalah anti negara belaka merupakan suatu kesalahan dalam memahami kata dan cara yang digunakan oleh gerakan anarkis. Seperti pendapat Brian Morris, “Ketika seseorang menguji tulisan kaum anarkis klasik… seperti karakter gerakan anarkis… merupakan bukti yang jelas bahwa anarki tidak pernah memiliki batasan visi (hanya melawan negara). Anarkis selalu melawan semua bentuk kekuasaan dan eksploitasi, serta mengkritik kapitalisme dan agama seperti halnya terhadap negara”. (op.cit., hal 40)
Dan, hanya untuk memperjelas, anarki tidak berarti chaos ataupun suatu usaha yang dilakukan kaum anarkis untuk menciptakan kekacauan atau ketidak tertiban. Malah, kami ingin menciptakan suatu masyarakat yang berdasarkan kebebasan individu dan kooperasi sukarela. Dengan kata lain, tatanan dari bawah ke atas, bukan ketidaktertiban yang muncul dari atas ke bawah karena kekuasaan.

Satu Bumi – Sama, Korban Kapitalisme

Redefinisi Kapitalisme
Tentu kawan–kawan tahu betul apa itu sistem iblis kapitalisme, buatan londo (dengan tidak mengotakan warna kulit). Ya, mari kita sama–sama mendefinisikan ulang hakiki kapitalisme yang sejauh ini ia berhasil membuat kita ogah berpikir tentangnya sekaligus seolah memberi rasa aman bagi kebanyakan umat manusia.
Kapitalisme adalah sebuah sistem global jahat yang diaktori segelintir orang pemilik modal besar. Tidak sukar membayangkannya. Perumpamaannya seperti ini, ada uang abang sayang, tak ada uang abang melayang.
Ia kemudian membentuk lingkaran setan yang rapat sehingga orang–orang di dalamnya sulit keluar karena seolah dimanjakan (padahal diperbudak) segelintir pemilik modal.
Ia melegitimasi penghisapan manusia atas manusia lain karena hanya cara tersebut yang ampuh mempertahankan eksistensinya.
Ia pintar, cerdas, tapi satu hal yang dapat menghancurkannya, ia licik dan culas.
Kepintarannya dapat dilihat dari bagaimana ia berperan sebagai tuhan ketika hamba mengemis, meminta kepadanya karena tidak tahu lagi harus berbuat apa.
Ya, mari kita masuk dalam lingkup ekonomi kapitalisme. Kasarnya seperti ini, daripada dapur kosong, tidak berasap, akhirnya hamba menuhankannya sembari bersabar dan berharap hari esok jauh lebih baik, padahal itu semua nihil jikalau kawan–kawan tidak frontal melawannya.
Kelicikan Humanisme Kapitalisme
Lebih jauh, konsep ekonomi tersebut melahirkan kelas–kelas sosial dalam masyarakat atau pengotakan status manusia. Dikotomi si kaya dan si miskin adalah manifestasinya.
Tidak berhenti di sini. Ironis ketika percabangan tersebut tidak lagi berperikemanusiaan. Yang kaya semakin merajalela, yang miskin semakin menjerit.
Kawan–kawan tahu bahwa idealnya kondisi tersebut dapat memunculkan kedermawanan. Ingat ! Pilantropis murni tanpa embel-embel bukanlah seorang kapitalis, walaupun kebanyakan orang menganggap mereka kapitalis. Ia tahu betul ketidakseimbangan ajaran kapitalisme dan kemudian memilih menjadi pilantropis.
Ia-kapitalisme melegalkan penghisapan yang dilakukan si kaya atas si miskin (baca: perbudakan). Sungguh sempit humanisme yang diartikulasikan kapitalisme. Bahkan perbudakan tersebut seolah dikondisikan terjadi dan bersifat tidak memaksa. Mengapa hal ini bisa terjadi ?
Kenyamanan semu perbudakan dalam lingkaran setan dapat menjadi sebuah jawaban.
Oleh karena itu, marilah sama-sama matangkan idealisme untuk keluar dari lingkaran tersebut walaupun terasa berat, lebih khusus bagi kapitalis muda mapan yang sudah merasa nyaman.
Kapitalisasi Pendidikan
Kapitalisme tidak segan–segan melebarkan sayap di dunia pendidikan, tentu dengan idealismenya bahwa kepemilikan modal adalah segalanya.
Ia berhasil mendisfungsikan esensi pendidikan, mensubstitusi ruang kelas menjadi sebuah perusahaan.
Bagaimana tidak ? Kawan-kawan dapat melihat kondisi saat ini, yang bersekolah hanya yang mampu membayar, bagaimana dengan yang ingin sekolah tetapi tidak mampu membayar ? Kenyataan di lapangan, mereka tidak dapat menikmati bahkan sekedar untuk mencicipi suasana ruang kelas.
Ya, itu tadi sekelumit tentang pra-ruang kelas. Sekarang bagaimana dengan yang sedang menikmati ruang kelas ?
Aura intelektualisme pun didistorsi menjadi sebuah rutinitas formalitas berbuah kemalasan kontinu. Memang hal tersebut merupakan pilihan masing-masing individu. Tetapi penting diingat ! Jikalau ruang kelas masih dipenuhi perasaan dan aktivitas yang “salah”, adalah mimpi di siang bolong melahirkan individu-individu berkualitas unggul. Akhirnya, peserta didik hanya mencari nilai tetapi tidak lagi memikirkan, memanifestasikan apalagi mensyukuri arti sebuah proses.
Lanjut dengan pascaruang kelas. Walhasil, lulusan ruang kelas pencari nilai akhir akan berpenyakit mental bahkan cenderung amoral. Di kemudian hari mereka enggan berpikir dan berusaha. Pragmatisme sempit akan melekat di masing-masing individu dengan meniadakan nilai-nilai murni yang dianugrahi di dalam diri. Korupsi adalah salah satu contoh sederhana.
Sungguh, hal-hal tersebut yang diinginkan kapitalisme. Sebuah bahan perenungan perihal agenda busuk kapitalisme.
Kontinuitas Pergerakan
Jadi, pergerakan radikal, frontal tanpa melupakan hal–hal fundamental adalah syarat mutlak menghancurkan eksistensinya-kapitalisme.
Aksi kolektif cerdas pemogokan kerja yang dilakukan kawan-kawan pekerja secara besar–besaran adalah salah satu cara membuatnya kebakaran jenggot walaupun tak sampai membuatnya mati.
Perlu sebuah kontinuitas sabar sembari melakukan pengecekan ulang terhadap infiltrasi yang dilakukan kapitalis dalam pergerakan (hal ini sangat penting demi menjaga kemurnian cita–cita pergerakan).
Mengapa pergerakan harus bersifat kolektif, cerdas, tulus, dan murni ? Ya, karena jikalau dilakukan tanpa konsep matang, anorganisir akan melahirkan pergerakan bersifat emosional saja, kemudian mengonsekuensikan sebuah stagnasi pergerakan yang tidak diharapkan.
Mari kawan, singsingkan lengan baju, kencangkan ikat pinggang dan jangan lupa rapatkan barisan !!!
Ingat ! Pergerakan emosional terorganisir tidak lebih baik ketimbang pergerakan cerdas terkonsep.
Dimulai dari diri sendiri, dimulai dari hal-hal kecil, dan dimulai saat ini !!!
Ayo, tunggu apa lagi !!! Bangun dari tidur panjang !!! Wujudkan impian !!! Bergerak !!
 
 
ANARKI  JAKARTA 


Kawan,
Dengan senang hati kami mengabarkan bahwa langkah kami menuju terbentuknya Infohouse & Community Center sedang terwujud. Sebagai langkah awal, kami telah mendapatkan sebuh tempat untuk mengaktualisasikan dan menjalankan aktivitas-aktifitas kami disini nantinya.
Sebelumnya, biar kami bercerita sedikit apa itu Institut-A- Infohouse & Community Center, apa yang hendak kami capai dan lakukan disana...
Berangkat dari sebuah kesadaran sederhana dan keresahan bersama bahwa ’dunia ini tidak baik-baik saja dan kita tidak sendirian’, maka kami berinisiatif untuk membangun sebuah wadah yang dapat mengaktualisasi harapan dan keresahan kami. Instituta Infohouse & Community Center adalah sebuah projek otonom yang memfokuskan pada kesadaran dan perubahan sosial melalui etika anarki yang otonom, egaliter, non-hirarki, konsensus, dan koperatif.
Kami percaya perubahan selalu dapat dilakukan baik oleh individu atau oleh kelompok yang lebih besar tanpa harus ada ketergantungan dengan pihak lain. Perubahan kecil yang terus menerus lebih baik daripada keadaan statis tak bergerak dan menunggu perubahan itu datang.
Selama ini kami telah mengerjakan beberapa kegiatan seperti pendistribusian literatur, taman baca keliling, worksop sablon & kolase, skill sharing, kampanye (Against Police and State Brutality, Buy Nothing Day), pendampingan langsung bersama warga, penelitian & analisa, Food Not Bombs, DIY (Do It Yourself) Festival, dan lain sebagainya. Kegiatan-kegiatan ini kami lakukan baik secara kolektif atau bekerjasama dengan kelompok-kelompok lain yang masih sejalan dan sefikiran dengan kami.
3 hal utama yang akan menjadi fokus kerja kami adalah;
- Toko Buku & Taman Baca (Infoshop); menyediakan literatur-literatur kritis untuk di jual dan dibaca bersama. Pendistribusian dan penerjemahan materi-materi anti-otritarian
- Community Center; melakukan aktifitas rutin dan berkala bersama warga sekitar dan menyediakan ruang informasi dan ruang bagi warga untuk melakukan aktivitas- aktivitas bersama seperti belajar bersama, workshop (lingkungan, kesehatan, pendidikan, jurnalistik, kesenian, kemandirian, dll), pemutaran film, ruang diskusi, dan lain sebagainya. Juga sebagai wadah aktivitas antar kelompok atau individu yang bergerak dalam perlawanan sosial dan akar rumput
- Kemandirian Ekonomi melalui usaha penjualan materi, DIY Shop, dan kedai vegetarian
 Tujuan dasar dari Institut-A- Infohouse & Community Center adalah membuka akses yang lebih luas terhadap ide-ide dan praktek anarki, dan mendukung segala gerakan anarki lokal atau gerakan-gerakan sosial kritis lainnya.
Prinsip Kami
Institut-A- Infohouse dijalankan oleh sebuah kolektif berdasarkan prisnsip  sukarela,  non-hirarki, parsitipatif, kooperatif, dan mengambil keputusan secara konsensus.
Kami menentang segala bentuk otoritarianisme, kapitalisme, dan negara. Juga menolak segala bentuk eksploitasi, dominasi, dan diskriminasi, baik yang berdasarkan pada kelas, gender, etnis, seksualitas, agama atau spiritual, atau kekurangan fisik. Kami menolak segala komodifikasi atas dunia ini.
Bagaimana kamu bisa terlibat dan berpartisipasi?
Selama kamu memiliki prinsip yang sama dengan kami, maka kamu dapat berpartisipasi bersama kami dalam hal;
- Menjadi sukarelawan dalam menjalankan dan berkomitmen di salah satu program kami (mengelola taman baca, penerjemahan, pendistribusian, pendataan, kedai vegetarian, wadah komunitas, atau DIY Shop)
- Menjalankan program kegiatan tertentu secara berkala atau sesekali di Community Center kami, misalnya kelas/ diskusi/ pemutaran film/ workshop rutin
- Menitipkan karya kamu seperti zine/ jurnal/ pamflet/ buku/ karya seni/ kerajinan seni atau kerajinan tangan (art & craft work) di DIY Shop kami untuk kami jual dan distribusikan dengan pembagian keuntungan yang mutual, setara, dan adil
- Menjadi donatur tetap
- Dan masih banyak ruang-ruang lainnya...
Kami membuka ruang sebesar-besarnya bagi kawan2 semua untuk turut berpartisipasi...
Sebagai informasi, kami mendapat donasi dari jaringan internasional untuk menyewa tempat selama 1 tahun ini, dan kami masih membutuhkan sangat banyak hal untuk mengisi rumah kami ini.
Kami sangat menjaga ke’otonom’an kami, terutama sekali terkait dengan sumber dana yang kami terima. Ini terkait dengan kami masih sangat percaya bahwa nilai independensi, solidaritas dan mutualis belum hilang, maka kami mengajak teman-teman semua untuk dapat turut berkontribusi dalam Instituta Infohouse & Community Center. Kalian dapat membantu dan berkontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung.
 Dimana Kami?

Untuk kalian yang ingin hidup bebas
Siapapun kalian, yang menginginkan kehidupan bebas, lepas dari belenggu sekolah, otoritas, orang tua, masyarakat, dan belenggu-belenggu serupa, kalian tidak sendirian. Kalian juga bukan orang pertama yang berpikir bahwa semua belenggu tersebut takkan pernah lepas, bahwa kebebasan sejati hanya dapat kita rasakan dalam khayalan dan mimpi siang bolong. Kita beranjak dewasa dengan dicekoki kalimat bahwa “kita harus bertanggung-jawab”. Semua keluh-kesah akan dunia, kehidupan, dan kondisi sekeliling kita, selalu dijawab dengan nyanyian lama “terima saja, hidup memang tidak pernah adil!”. Sepintas kita merasakan sinisme di dalamnya setiap kali kalimat itu berdengung di dekat telinga kita, kita dapat melihat wajah si pelontar kata yang menyatakan dengan putus asa bahwa ia tak berdaya atas kehidupannya. Dan itulah kenyataan sebenarnya yang ingin ia katakan, bahwa ia–termasuk kita semua–tak berdaya. Namun, di balik semua itu, mereka yang melontarkan kata-kata semacam itu, adalah mereka yang tak pernah benar-benar menjalani hidup yang sesuai dengan keinginan mereka. Mereka yang telah layu atau mati selagi hidup. Bagiku, kenyataan hidup tidak sesederhana kalimat “hidup memang tidak pernah adil” karena kemungkinan masih ada di setiap ruang bagi setiap manusia yang gigih dan berani mengeksplorasi setiap sudut kehidupan.
Terkadang aku juga seperti kalian, yang mengutuki dunia dengan sumpah serapah. Tapi, bisakah kita sedikit berbesar hati dengan mempertimbangkan sisi lain hidup yang pernah atau sering membuat kita tersenyum, merasa lepas, bebas dengan hati yang bergejolak. Momen-momen dimana kita akan berkata bahwa hidup itu tidak selalu busuk adalah ruang dan waktu dimana kita mengikuti mimpi dan keinginan. Memang, keseharian kita dipenuhi dengan “kekerasan, kemiskinan, ketertindasan, peperangan, dan pengrusakan” yang disebabkan oleh para penguasa ekonomi dan para politisi. Sehari-hari kita dituntut untuk mengamini semua ini dengan duduk di depan kelas, menonton televisi, mematuhi majikan, dan membuat semua inersia kehidupan menjadi rutinitas kehidupan kita sendiri. Tapi, kehidupan yang bebas itu masih mungkin. “Hidup itu indah” bukanlah semata slogan perusahaan periklanan dan senyum kaum borjuis di depan televisi, janganlah percaya pada apa yang disajikan televisi kepadamu. Kehidupan yang indah itu ada di sekitar kita, tersembunyi di balik tirai jendela dan di luar dinginnya tembok-tembok penjara, seperti sinar matahari yang diselubungi awan, kita hanya perlu mengayuh angin untuk menyingkapnya.
Aku juga sadar bahwa hidup seperti sekarang ini memang memilukan. Hidup yang bebas di bawah tirani kapitalisme dan negara menjadi semacam ilusi ketika setiap hari kita harus melakukan hal-hal yang tak kita inginkan. Kita harus menjual, menipu, dan berlaku tak adil kepada sesama agar kita dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kita bahkan harus membuat mereka patuh seperti halnya atasan/pimpinan menginginkan kesetiaan kita. Mereka bilang, kalau kita tidak mempersiapkan diri kita untuk masa depan, maka tak ada alasan lagi untuk hidup. Kawan, orang-orang yang berkata seperti itu kepadamu sesungguhnya tak pernah mengerti ucapan mereka sendiri. Orang-orang tersebut mencoba berkata kalau mereka lebih dewasa darimu karena mereka menginginkan kepercayaan dan kepatuhanmu, seperti orang lebih dewasa sebelumnya yang telah merenggut kehidupan mereka. Mereka menginginkanmu untuk menjadi budak mereka, sampai akhirnya kamu mengamini perbudakan dirimu sendiri dan menerima legitimasi kekuasaan mereka terhadap hidupmu. Kapan kamu akan mulai menjalani hidupmu sendiri?
Argumen ini bukanlah suatu alasan untuk menyerang mereka yang bekerja untuk bertahan hidup. Beberapa orang masih sulit melepas rutinitasnya. Menyalahkan mereka karena pilihan tersebut adalah tindakan yang keliru, walau kita semua mengerti bagaimana pengaruh ’rutinitas’ kepada kehidupan kita. Semua ini bergantung pada pemahaman kita terhadap realitas keseharian, hubungan antarmanusia, dan bagaimana hal tersebut membentuk kesadaran bahkan emosi kita. Ada orang-orang terdekat kita yang menyukai pekerjaan mereka sebagai suatu wujud eksistensi di dalam masyarakat. Tapi hal terpenting dari semuanya adalah menyadari bahwa eksistensi hidup takkan diraih melalui semua itu, tapi dari apa yang benar-benar kita inginkan di dalam hidup.
Sadarilah, bahwa majikan ingin memperbudakmu. Sekolah mempersiapkanmu untuk menjadi bagian dari hubungan ekonomi-politis majikan dan budak. Orang tua menghendakimu mengikuti jalan hidup mereka–menjadi budak. Masyarakat menginginkanmu menjadi segala sesuatu yang tak kamu inginkan. Dan percayalah, bahwa kehidupan bebas berada di luar itu semua. Dan ingat, karena aku tak dapat mengingatkanmu hal ini berkali-kali, bahwa hidup yang bebas bukanlah kebebasan untuk mendominasi, memanipulasi, memperbudak sesama, dan menghancurkan alam sekitar (biosfer) demi kesenangan kita. Bukan, karena itu adalah kebebasan yang sekarang diamini oleh masyarakatmu–yang tidak bebas.
Aku keluar (bukan dikeluarkan) dari kuliah, dan tidak memikirkan bagaimana masa depanku akan menjadi. Meninggalkan rumah, orang tua beserta nilai-nilai suci yang tadinya diwariskan kepadaku. Aku bahagia karena aku menjalani hidup sesuai keinginanku, aku bahagia karena aku juga merasakan kesedihan sebagai bagian dari pilihan hidupku. Mereka bisa saja menuduhku egois, seenaknya, parasit, ceroboh, atau apapun tanpa berkaca terlebih dulu. Mereka bisa menghakimiku di dalam segala hal, tapi apa yang perlu mereka lakukan terlebih dahulu adalah melihat ke dalam diri mereka sendiri. Bisikan dalam hati seringkali tak nyaman untuk dipublikasikan apalagi diberitahu ke orang sekitar kita. Kita semua tahu apa yang sering kita keluhkan di dalam diri: ketidakpuasan yang kita rahasiakan yang seringkali dibaluti oleh keinginan-keinginan remeh, padahal apabila dicermati lebih jauh, keinginan tersebut menginginkan sesuatu yang lebih besar. Lebih besar dari apa yang aku dan kamu ketahui. Seperti ketika kamu menemukan cinta dan mengetahui apa yang kamu benci. Biarkan mereka berbicara sesukanya. Menuduh sesukanya. Biarkan mereka berkoar dengan bahasa yang penuh derita. Hidup harus terus berjalan dan memang sudah sepatutnya, bahwa untuk menjalani hidup berarti mengetahui mana yang harus kita perjuangkan dan mana yang harus kita tumbangkan.